August 12, 2008

Resensi Buku: Rome Sweet Home

Ada kesan orang Katolik tidak semilitan, tidak memahami Alkitab sebaik orang Protestan. Mengapa demikian? Benarkan ajaran Katolik kurang alkitabiah?




Judul Buku: Rome Sweet Home (Roma Rumahku)
Penulis : Scott dan Kimberly Hahn
Penerjemah : Budimulyanto
Imprimatur : L. Heru Susanto Pr
Nihil Obstat : Henricus Pidyarto Gunawan O.Carm

Buku ini secara menarik menunjukkan begitu alkitabiah dan meyakinkannya dogma-dogma Katolik. Buku terjemahan ini aslinya berjudul Rome Sweet Home Our Journey to Catholicism. Di Amerika termasuk bestseller. Ditulis oleh pasutri Scott dan Kimberly. Lewat buku ini mereka men-sharing-kan kehidupan dan pergulatan hebat mereka berpindah dari Gereja Presbyterian ke Katolik Roma. Fokus tulisan ini adalah bagaimana Roh kudus telah menggunakan Alkitab untuk membersihkan semua salah pengertian mereka berdua tentang Katolik.

Bahasa dalam buku ini tidak bombastis, tidak muluk-muluk. Sebaliknya, sederhana, komunikatif. Mereka mengisahkan pergulatan mereka secara bergantian. Cara ini memudahkan pembaca untuk langsung menangkap perspektif mereka berdua. Hal yang membuat “buku kesaksian” ini menarik dan berbobot adalah sosok kedua penulisnya sendiri. Scott adalah seorang pendeta Presbyterian, sedang Kimberly berasal dari keluarga pendeta. Ayah, kakak, dan pamannya adalah pendeta.

Sesudah bagian pendahuluan, buku ini (“Dari Palungan sampai ke Kristus”) membawa kita ke masa Scott dan Kimberly di bangku Sekolah Menengah. Sejak muda Scott amat bersemangat melakukan apa pun. Kuasa Tuhan yang dialaminya yakni karunia pertobatan dan pencerahan Roh yang istimewa, telah mengubah pribadi dan kehidupannya. Scott “rindu tak terpuaskan” pada alkitab. Kesempatan yang didapatnya untuk belajar teologi tidak disia-siakan. Scott melahap habis seluruh karya Luther dan Calvin.

Dia menjadi sangat anti-Katolik. Bahkan terdorong keyakinan berkobar-kobar untuk mewartakan Sabda Tuhan, Scott pernah bertekad “mengambil sasaran orang Katolik Roma karena kasihan dan prihatin atas kesalahan dan kepercayaan takhayul mereka.” Scott punya misi membebaskan orang-orang Katolik, yang menurutnya, terikat pada karya-karya dan ajaran-ajaran yang non-alkitabiah. Scott yakin, perasaan anti-Katolik yang berkobar dalam hatinya tumbuh dari kasih pada Tuhan dan keinginan berdasar kasih untuk menolong orang-orang Katolik menjadi Kristen yang benar.

Bagi Kimberly, tahun-tahun di sekolah menengah merupakan saat-saat menyenangkan. Atmosfer kekristenan melekat erat pada dirinya. Sebagai gadis Kristen yang saleh, kegiatan hariannya berkutat seputar pelayanan kebaktian, pelajaran Alkitab, dan penginjilan. Salah satu cita-citanya adalah menjadi istri seorang pendeta.

Berawal dari pelayanan bersama di “Young Life”, Scott dan Kimberly saling jatuh cinta. Beberapa tahun kemudian (seperti bisa dibaca pada bagian “Dari Pelayanan ke Pernikahan”), mereka menikah. “Young Life” adalah pelayanan yang didirikan untuk mewartakan Injil kepada kelompok keras anak-anak muda yang tak pernah aktif dalam kegiatan Gereja.

Scott yang sejak awal studinya tertarik dengan konsep Perjanjian dalam Alkitab harus memperbarui pandangannya (“Pandangan Baru tentang Perjanjian Allah”). Lewat studi mendalam Scott menyimpulkan, perjanjian harus diartikan berbeda dengan kontrak yang dimengertinya selama ini. Scott mengakui argumentasi alkitabiah dan logis dari Gereja Katolik yang “sendirian” menentang kontrasepsi (halaman 47). Malahan Scott dan Kimberly, sebagai pasutri Kristen, mempraktikkan ajaran Katolik: tidak lagi memakai kontrasepsi dan berserah pada Tuhan atas hidup mereka.

Selulus Master di bidang teologi dan filsafat dengan predikat summa cum laude, Scott menjadi pendeta dan mengajar Alkitab di sebuah Sekolah Menengah Kristen dan Institut Teologi. Di Sekolah Menengah, karena pengajarannya, siswanya membuat polling. Hasilnya bulat: mereka punya keyakinan Scott akan menjadi seorang Katolik Roma (halaman 78-80). Di Institut, Scott ditawari jabatan dekan, saat berusia 26 tahun. Scott menolak. Ia tak mau mengajarkan sesuatu yang belum diyakininya. Beberapa masalah teologis benar-benar menghantui. Ia mengundurkan diri dari Gereja yang dilayaninya. Meski sulit mengerti, Kimberly menghormati dan menerima keputusan Scott. Kimberly mulai cemas dengan “peziarahan intelektual Scott”. Mereka lantas berpindah ke kota kecil tempat almamater mereka. Badai mulai menerpa keluarga mereka.

Ringkas cerita, lewat pergulatan hidupnya, Scott makin yakin terhadap dogma-dogma Katolik dan mulai mempertimbangkan untuk menjadi Katolik. Tentu saja hal itu mengguncang Kimberly. Bila Scott semakin mantap untuk menjadi Katolik, Kimberly semakin stres dan merasa ditinggalkan Tuhan.

Konflik suami-istri sampai-sampai mengakibatkan Kimberly keguguran. Bagaimana Scott berdoa rosario tiap hari membuat Kimberly merasa tersisih dan cemburu; bagaimana Scott sampai bertemu Paus, juga merupakan kisah-kisah yang menarik.

Buku ini sekurang-kurangnya dapat meneguhkan umat Katolik yang “minder” bila berhadapan dengan saudara-saudari Kristen. Buku kesaksian ini menyadarkan kita bahwa bila Roh Kudus menjiwai, apa pun mungkin terjadi. Kita pun bisa belajar dari Scott dan Kimberly bagaimana senantiasa mengembalikan setiap konflik pada Allah.

J Chrys Wardjoko (dalam HIDUP, Nomor 37, 12 September 2004)

0 comments:

 
© Copyright 2008 Emmaus Journey Community . All rights reserved | Emmaus Journey Community is proudly powered by Blogger.com | Template by Template 4 u and Blogspot tutorial